nasdemnunukan.blogspot.com - Indonesia dinilai membutuhkan seorang
pemimpin yang kuat untuk melaksanakan sistem ketatanegaraan yang
presidensial, namun berpraktik parlementer dalam tata kelola negara dan
pemerintahan.
"Dengan tata kelola negara dan pemerintahan yang dualisme ini, seorang pemimpin bangsa harus kuat dalam segala aspek dengan mengedepankan kepentingan rakyat di atas segalanya serta bebas dari intervensi pihak lain," kata pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Frans Bapa Tokan MA, di Kupang, Kamis (25/7).
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unika Widya Mandira Kupang mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal pola pelaksaan sistem ketatanegaraan di Indonesia seperti yang direfleksikan Presiden SBY. Ia mengatakan, pelaksanaan tata kelola sistem ketatanegaraan hanya merupakan alat dan bukan merupakan tujuan kehidupan bernegara.
"Karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana seorang pemimpin bisa menerapkan tata kelola secara baik untuk pencapaian tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat," katanya.
Menurutnya, sistem ketatanegaraan tidak menjadi alat ukur keberhasilan pencapaian kesejahteraan yang utuh bagi masyarakat, namun sangat bergantung kepada pengelola sistem tersebut. Karenanya, butuh seorang pemimpin yang kuat dan tidak mudah dipengaruhi pihak lain dalam menjalankan tugas negara sesuai dengan arah dan tujuan kehidupan berbangsa.
Dalam sistem presidensial, katanya, kekuasaan berada mutlak di tangan presiden (eksekutif). Sehingga dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa terlepas dari sejumlah pengaruh lain dari pihak lain, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan.
"Apapaun sisitem ketatanegaraan di Indonesia, tetapi kalau pemimpinnya tidak kuat dan hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan, maka akan tidak akan memberi manfaat bagi rakyat," kata Frans.
Hal yang sama, lanjut dia, berkaitan dengan penerapan otonomi daerah dalam negara kesatuan Indonesia. "Ini juga sama seperti sistem presidensial namun penerapan federal atau parlamenter," katanya.
Dalam konteks tersebut, lanjut dia, bisa dipahami dualisme ketatanegaraan di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek geografis NKRI yang berkepulauan. "Apapaun alasannya, sisitem dualisme ketatanegaraan di Indonesia harus tetap dilakukan, dengan mencari pemimpin yang kuat untuk menata sistem ketatanegaraan tersebut ke arah yang lebih baik," kata Frans.
IA menilai, Indonesia di hari ini, masih belum mendapatkan seorang pemimpin yang kuat untuk melaksanakan sisitem ketatanegaraan yang presidensial namun berpraktik parlamenter. "Negara ini masih sangat miskin pemimpin yang kuat untuk melaksankan tata kelola ketatanegaraan di NKRI yang kita cintai ini. Kita butuh pemimpin yang kuat," katanya.
"Dengan tata kelola negara dan pemerintahan yang dualisme ini, seorang pemimpin bangsa harus kuat dalam segala aspek dengan mengedepankan kepentingan rakyat di atas segalanya serta bebas dari intervensi pihak lain," kata pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Frans Bapa Tokan MA, di Kupang, Kamis (25/7).
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unika Widya Mandira Kupang mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal pola pelaksaan sistem ketatanegaraan di Indonesia seperti yang direfleksikan Presiden SBY. Ia mengatakan, pelaksanaan tata kelola sistem ketatanegaraan hanya merupakan alat dan bukan merupakan tujuan kehidupan bernegara.
"Karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana seorang pemimpin bisa menerapkan tata kelola secara baik untuk pencapaian tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat," katanya.
Menurutnya, sistem ketatanegaraan tidak menjadi alat ukur keberhasilan pencapaian kesejahteraan yang utuh bagi masyarakat, namun sangat bergantung kepada pengelola sistem tersebut. Karenanya, butuh seorang pemimpin yang kuat dan tidak mudah dipengaruhi pihak lain dalam menjalankan tugas negara sesuai dengan arah dan tujuan kehidupan berbangsa.
Dalam sistem presidensial, katanya, kekuasaan berada mutlak di tangan presiden (eksekutif). Sehingga dibutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa terlepas dari sejumlah pengaruh lain dari pihak lain, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan.
"Apapaun sisitem ketatanegaraan di Indonesia, tetapi kalau pemimpinnya tidak kuat dan hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan, maka akan tidak akan memberi manfaat bagi rakyat," kata Frans.
Hal yang sama, lanjut dia, berkaitan dengan penerapan otonomi daerah dalam negara kesatuan Indonesia. "Ini juga sama seperti sistem presidensial namun penerapan federal atau parlamenter," katanya.
Dalam konteks tersebut, lanjut dia, bisa dipahami dualisme ketatanegaraan di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek geografis NKRI yang berkepulauan. "Apapaun alasannya, sisitem dualisme ketatanegaraan di Indonesia harus tetap dilakukan, dengan mencari pemimpin yang kuat untuk menata sistem ketatanegaraan tersebut ke arah yang lebih baik," kata Frans.
IA menilai, Indonesia di hari ini, masih belum mendapatkan seorang pemimpin yang kuat untuk melaksanakan sisitem ketatanegaraan yang presidensial namun berpraktik parlamenter. "Negara ini masih sangat miskin pemimpin yang kuat untuk melaksankan tata kelola ketatanegaraan di NKRI yang kita cintai ini. Kita butuh pemimpin yang kuat," katanya.
Redaktur : Karta Raharja Ucu |
Sumber : Antara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar